Rabu, 22 Juli 2009

hasil jepretan



Selengkapnya....

MENDING NANYA DEH DARIPADA NTAR MALU-MALUIN

Aku punya pengalaman yang memalukan karena malu bertanya. Kejadian ini aku alami satu minggu yang lalu. Sore itu, aku dan seorang temanku berniat untuk pergi berbelanja ke swalayan yang dekat dengan kos kami. Kami berencana membeli timbangan berat badan dan kotak kado, karena jarak yang dekat maka kami memutuskan untuk jalan kaki, hitung-hitung sama jalan-jalan sore. Saat dalam perjalanan itu temanku ngomong, “Aku kok pengen beli tahu crispy yang ada di dekat swalayan ya?”. Tanpa ambil pusing aku jawab, “Ya kalau pengen, ya beli. Daripada dibawa mimpi.”. Temanku mencebil mendengar jawaban cuekku. “Harganya berapa sih?”, lanjutnya. Aku mencoba mengingat dengan gaya khasku, telunjuk kanan ada di bibir yang mengerucut sambil mengerutkan dahi. “Satunya seribu-an kalau nggak salah, diposternya tertulis segitu.”, nadaku terdengar ragu. “Patungan yuk…”, rajuknya. Aku mengiyakan ajakannya dengan catatan bahwa kami hanya beli tiga ribu perak alias tiga buah, pengiritan maksudnya. Temanku ini setuju saja karena dia memang sudah kepingin dari beberapa hari lalu.
Sampai di mulut gang, kami berdua menyeberang. Lalu lintas lumayan padat, maklum aja karena ini jam pulang kantor. Kami memutuskan untuk memesan dulu biar bisa pulang cepat nantinya, hal ini kami lakukan karena melihat antrian pembeli yang begitu panjangnya. Tanpa pikir panjang dan bertanya harga, aku memesan pada bapak penjual-nya yang sedang menggoreng. “Pak, pesan tiga ya? Tapi ditinggal dulu bentar.”, pesanku sambil mengangkat tiga jari kanan. Bapak itu menunjukkan wajah bingung lalu mengulangi pesananku, “Tiga kan, Neng?” sambil mengangkat tiga jarinya. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Kami meninggalkan tempat itu dan menuju swalayan, tujuan utama kami. Niat awal memang pengen belanja cepat, cuma ambil yang dibutuhkan. Tapi, biasalah cewek,nggak akan puas berbelanja hanya lima menit. Akhirnya kami menuju rak-rak lain, mulai dari rak mug lucu sampai rak camilan yang menggiurkan. Setelah puas berkeliling dan mendapat barang di keranjang belanjaan yang berisi timbangan berat badan dan kotak kado (bener lho, nggak ada belanjaan lain), kami berdua menuju kasir dan membayar lalu pergi meninggalkan swalayan tersebut. Hari sudah agak gelap, adzan maghrib terdengar. “Niatnya cuman lima menit tapi kok jadi setengah jam? Nggak dapat apa-apa lagi.”, gerutu temanku. Aku hanya tersenyum, tanpa menanggapi gerutuan dia.
Kami menuju tempat jualan tahu crispy dan melihat ada cowok dan cewek yang sedang menunggu pesanan. Kami diberi isyarat oleh bapak penjual untuk menunggu sebentar dan menyuruh kami duduk. Sambil duduk, aku melihat seberapa besar tahu crispy yang ditawarkan dengan harga per buah seribu rupiah. Aku heran, tahu seukuran tahu Sumedang yang biasanya dijual di bis kok harganya seribu rupiah, mahal banget. Temanku menjawil lenganku, “Kok, tahunya kecil? Yakin seribu-an?”, bisik temanku. “Liat aja mas ama mbak yang mau beli ini”. Setelah menunggu beberapa menit, bapak penjual mengangsurkan kotak kue berukuran kurang lebih 10 cm x 15 cm kepada cowok-cewek itu. “Berapa Pak?”, tanya si cowok. “Lima ribu.”, jawab bapak penjual. DEG, seketika itu perasaanku nggak enak, kami saling berpandangan. Bersamaan dengan itu bapak penjual sudah membungkus satu kotak dan masih meneruskan menggoreng padahal sudah nggak ada orang lagi. “Waduh, jangan-jangan kita dianggep pesen tiga bungkus.”, suara temanku terdengar putus asa. “Tanya aja coba ama penjualnya, kalau kita habis limabelas ribu kan nggak lucu? Uang kita berdua kan tinggal sepuluh ribu.”, lanjut dia.
Aku berpikir sebentar lalu beranjak dari tempat duduk, “Pak, seporsinya berapa sih?”. Penjual itu menjawab “Lima ribu, Neng”. “Nggak boleh kurang ya Pak? Maksudku, beli cuman tiga ribu aja?”, saat itu wajahku seperti terkuliti saking malunya. “Nggak boleh, Neng”. GLEK, buru-buru aku mengeluarkan uang lima ribu dari dompet, “Ya udah, Pak. Beli seporsi aja”. Bapak itu mengerutkan dahinya, “Ooo, kirain mau pesen tiga porsi. Neng tadi ngangkat tiga jari saya pikir tiga porsi”, ujar bapak itu sambil mengangkat tiga jarinya. Aku menggeleng dan mengangsurkan uang lima ribu. Bapak itu mengangsurkan sekotak tahu dan menerima uang dariku. Setelah meminta maaf karena salah pengertian, kami berdua meninggalkan tempat itu buru-buru. Malu. Untung aja tempatnya lagi sepi, coba kalau lagi rame pasti malunya berlipat ganda. Sejak saat itu aku belum berani untuk beli tahu crispy di tempat itu, saking malunya.

Selengkapnya....