Selasa, 28 September 2010

Hidup Itu Pilihan (Wanita di Usia Dua-Puluh-Sekian)

Krisis seperempat masa hidup atau istilah kerennya Quarter Life-Crisis agaknya memang mulai menyerang setiap wanita di usia dua-puluh. Istilah wanita memang tersemat pada perempuan yang telah menginjak usia dua puluh, dimana usia itu telah menunjukkan kedewasaan pikiran dan penentuan hidup. Di usia ini, wanita sudah bisa menentukan hidupnya mau dibawa kemana. Secara garis besar, ada dua pilihan mayor dari wanita di usia ini. Menikah atau bekerja.
Pilihan ini terlihat dari pola pikir mereka. Ada wanita yang lebih memilih memikirkan kapan mereka menikah atau mencari seseorang yang bisa diajak serius untuk melangkah ke kehidupan baru. Pilihan kedua adalah wanita yang menghadapi kehidupan ini bukan melulu untuk menikah atau berbagi hidup dengan pasangan tapi lebih bagaimana mereka mencari kesibukan untuk mencapai cita-cita. Pada pilihan yang pertama, wanita berpola pikir ini akan senang bercerita atau diajak berbicara mengenai pasangan, ikatan pernikahan dan kehidupan berumah-tangga. Sedangkan pola pikir kedua berisi wanita yang kata orang terlalu keras menghadapi hidup, istilah yang berlebihan bagiku. Kelompok ini dianggap terkesan cuek dan terlalu menjadi pemilih. Tapi apa yang salah dengan putusan untuk memilih pilihan yang kedua. Kita memang orang yang memegang aturan orang Timur (meskipun kerusakan mental kita sudah melebihi ambang), yang mencemooh orang —apalagi wanita berusia dua puluh sekian— belum menikah. Istilah yang pernah aku baca di novel buat orang-orang pencemooh itu adalah ‘Dengungan Tawon’, lucu juga sih istilah ini. Pasti deh wanita yang sudah berumur dua-puluh sekian selalu gak bisa lepas dari pertanyaan, “Kapan nikah?” atau “Sudah punya pasangan belum?” huaaah, aku males banget kalau udah ditanyain pertanyaan macam ini.
Aku adalah wanita yang memilih pilihan hidup kedua. Kadang sih ada pikiran untuk pengen menemukan seseorang yang bakal jadi imamku tapi setelah aku balikin lagi ke tujuanku, yang pengen menikah di atas dua puluh lima, buat apa sih aku harus buru-buru tahu siapa dia toh aku juga ga pengen nikah dalam waktu dekat. Pernah sih sekali terpeleset melakukan tindakan make a relationship (yang bukan aku banget deh) tapi tetep sebagian diriku berontak pengen mandiri dulu yang kemana-mana ga usah direcoki lirik lagu Kangen band yang “kamu dimana dengan siapa bla bla…” ugh males banget. Apalagi emang kelakuan make a relationship (MAR) banyak mudaharat-nya daripada manfaat meskipun dalam kasus MAR-ku yang kurang dari standar, no hug, no kiss, no hold the hand, cuma jalan bareng, tuker pikiran dan saling menyemangati (meskipun buatku ga ada efek kata-kata semangat dari dia, lebih ampuh kata semangat dari temen-temenku). Buatku, MAR itu cuma indah sampai minggu ketiga (pengalamanku kan cuman sekali MAR) selebihnya ketakutan atas murka Allah. Terlalu idealiskah aku? Hu’um, aku memang wanita dengan sejuta idealis.
Ada juga sih temen yang bilang, “Menikah itu kan ibadah”, iya sih ibadah tapi kalau masih setengah hati; masih belum menemukan seseorang dengan paduan baik akhlak dan Islamnya ditambah lagi dengan nyambung diajak ngomong; dan memang masih pengen mencari pengalaman hidup yang gak bisa dilakukan kalau aku sudah punya tanggung jawab besar, mau gimana lagi? Aku udah mulai mengalami kebisingan dengungan tawon. Apalagi wanita-wanita seumuran-ku udah berani mengganti status mereka. Undangan-undangan itu sudah mengalir bagai air dan pertanyaan mempelai alias temenku, “Kapan nyusul?” Gleg…cuma bisa menelan ludah dan menyunggingkan senyum.
Huah, memang hidup itu pilihan. Tergantung sikap kita bagaimana mempertanggungjawabkan keputusan yang diambil. Selalu memohon petunjuk dari-Nya. Mohon maaf bila ada salah kata. *Dan aku memang mulai merasakan Quarter Life-Crisis.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar