Senin, 21 Juni 2010

Nongkrong Semalam di Probolinggo

Siang itu sekitar pukul 1.45pm, aku sudah ngendon di terminal Arjosari untuk memenuhi janji ama temenku. Bukan janji menjemput tapi mau hang out ke luar kota, Probolinggo. Melupakan sejenak kepenatan dan rutinitas. Jalan-jalan ini membawa manfaat kok, kaerna aku mengikuti seminar tentang motivasi diri yang diadain ama Pemkot Probolinggo. Akhirnya setelah menunggu lima belas menit, temenku datang dan lima belas menit kemudian kita berdua mendapat bis ke Probolinggo. Weehh, karena ini akhir pekan jadi bis udah sangat penuh. Berimpit-impitan dengan penumpang lain, Alhamdulillah kita berdua dapat tempat duduk meskipun dibelakang. Hmm, ada yang menarik, dari sekian banyak penumpang bis, ada salah satu orang yang menarik perhatianku karena dia mirip banget ama temenku. Karena bener mirip apa aku mirip-miripin?Karena aku bener-bener kangen dia. Hummm, mungkin karena aku saat ini dengan mudahnya ngebayangin temenku ini.
Ini bukan perjalanan pertamaku ke Probolinggo, aku udah termasuk sering ke sana. Mulai dari sekedar lewat kalau mau ke Jember sampai bermalam di kebun anggur waktu magang dan penelitian pertama, sebuah kenangan yang menyenangkan ketika di kebun anggur. Panas tentu iya, tapi makan buah anggur langsung dari pohonnya itu yang buat terkesan. Tapi waktu itu aku ga masuk kota Probolinggo-nya jadi bisa dibilang ini perjalanan pertamaku ke kota Probolinggo. Balik lagi ke perjalanan, kita sampai di terminal Bayu Angga sekitar pukul 4.30pm dan menunggu jemputan by grandpa’s temenku. Menunggu sekitar lima belas menit, jemputan datang. Asli aku bingung ama jalan-jalannya, itu kesan pertamaku. Aku gak bisa ngebayangin arah-arah, gak ngerti kenapa. Bukan karena ruwet secara volume kendaraan tapi apa ya? Beda ama jalan di Surabaya aja, ya iya-lah akau kan ke bagian Probolinggo kota baru pertama kali ini. Sampai di rumah-nya temenku sekitar pukul 5pm, kita disambut oleh neneknya temenku. Setelah bersalaman dan memperkenalkan diri, aku mengikuti temenku menuju kamar. Huaduh, rumahnya temenku ini juga buatku membingungkan karena bagiku terlalu banyak bagian-bagian. Rumah ortu di Surabaya gak se-gedhe ini sih :p
Pukul 7pm kita berdua berpamitan untuk keluar jalan-jalan, sebelumnya kita udah makan malam dan membersihkan diri tanpa mandi, coba aja dipikirin seperti apa caranya. Putar-putar kota yang ruame banget gara-gara emang malam itu malam minggu, banyak warga yang jalan-jalan. Gak ada tujuan pasti sih, temenku cuma pengen nunjukin seperti apa keadaan kota-nya. Sepanjang perjalanan, aku heran karena di perempatan jalan selalu ketemu pak Pol. Weh, semangat banget ya mereka, malam minggu gak ada libur tapi tambah semangat. Chayyo, Pak!!! Kawasan pertama yang dikunjungi adalah kawasan pertokoan. Ada kaos HIJAU yang dijual, waahh senangnya. Berarti aku termasuk aman di kota ini, hehehe. Perjalanan sempat terhenti karena ada volume kendaraan yang berlebih di daerah alun-alun. Menoleh kanan-kiri, hummm banyak muda-mudi yang gaya sok jaim cari kenalan tapi aksi mereka cukup nampang dan menarik perhatian, hehehe, teringat jaman lebih muda dulu. Temenku bilang kalau mau muter di kota-nya gak usah butuh banyak hari karena jalan utama di kota itu cuma tiga, “Jadi gak usah khawatir kesasar”, tambahnya. Iya bener sih, dari lebar jalan aja setengah dari jalan kota-ku. Cuma di kota ini pengendaranya berani-berani, berani motong dari arah yang tak terduga, menyeramkan. Perjalanan di alun-alun yang sempet terhenti itu membawa makna juga karena aku bisa puas mandangin masjid gedhe-nya, bagus juga menurutku. Asyik ngekiatin masjid, gak nyangka kalau ada gerombolan berondong memandangiku, heran kali ngeliyat aku mantengin masjid ampe segitunya. Dasar udik, mungkin itu yang ada di benak mereka. Hehehe, iya aku memang orang udik, dek! Akhirnya, mengucapkan selamat tinggal ke alun-alun. Fffiiiuuhh. Setelah terbebas dari kemacetan itu, kita berdua mampir di kafe lesehan emperan toko aliasnya warung kopi lesehan di emperan toko, hehehe. Temenku ini udah kenal ama pemilik warung jadi ngobrolnya langsung nyambung. Dua gelas besar STMJ tanpa T jadi menu pilihan. SMJ(susu madu jahe) ini gak amis karena emang gak pake T (telur) karena T-nya kan punyaku atau bisa dibilang itu kan nama-ku, hehehe asli jayus banget. Minum di gelas gedhe ini bikin aku sedikit parno, pedes banget. Ngobrol ngalor-ngidul ama pengunjung situ yang kebetulan juga temen-temennya temenku. Asyik juga mereka, langsung nyambung, wehehehe SKSD-ku berlangsung lancar. Dua jam duduk-duduk dan ngobrol gak karu-karuan, kita berdua pamit pulang. Jalanan udah sepi karena emang udah jam 10pm, huaah ngantuk. Mau nonton bareng Piala Dunai 2010 tapi males soalnya besok pagi ada jadwal seminar. Perjalanan pulang ke rumah sambil melihat-lihat kios bensin karena bensin motor lagi sekarat tapi gak ada yang buka jam segitu. Sesampainya di rumah dengan tanpa mengisi tangki bensin, pintu gerbang udah tertutup, huaduh kena jam malam. Syukurlah ada tip and trick dari temanku dan kita bisa masuk rumah tanpa membangunkan mbah-nya temanku. Tidur-tiduran sambil cerita-cerita gak gak genah plus mendengar suara kentongan tiang listrik dari orang kurang waras membuat kita tidur beneran. Suara adzan subuh tak terdebgar olehku tapi Alhamdulillah gak kesiangan bangun, jam 4.30am mataku udah melek. Setelah itu kita siap-siap dan berangkat, sebelumnya sarapan dulu. sampai di lokasi acara emang tepat waktu yaitu pukul 7am tapi ikut acara-nya yang molor gara-gara temen’nya temenku telat tapi gak pa-pa juga sih soalnya acaranya belum mulai juga. Ikut acara seminar yang dimulai pukul 8am terkesan karena ekspresif banget dan sangat semangat, gak nyadar kalau jam udah menunjukkan pukul 11.30am. Dapet jatah ishoma tapi aku gak pengen ikut lanjut acara karena harus buru-buru balik ke Malang, huff seperti perjalanan ke rumah kala itu. Akhirnya pukul 1pm aku bener-bener terangkut bis ke Malang sendirian karena temenku masih ada urusan. Temenku ini mewanti-wanti biar gak tidur di bis. Berhasil sih di awal perjalanan tapi lepas terminal Pasuruan aku udah gak tahan lagi dan akhirnya tertidur pulas. Untungnya gak kebablasan kaya yang sudah-sudah. Selama mata ini gak terpejam pas awal perjalanan, aku mulai memikirkan untuk membuat catatan ini dan memikirkan kata-kata temenku waktu mengantarku ke terminal kalau Probolinggo itu kota kecil jadi gak usah lama-lama muter pasti dah hafal jalan. Memang benar kota itu tergolong kecil, jadi menurutku homogenitas warganya tinggi karena pendatang gak sebanyak seperti kota-ku. Jadi penataan kota itu akan menjadi lebih mudah, benarkah? Itu pendapat pribadi-ku, sih.

Malang-Probolinggo-Malang, 19-20 Juni 2010















































































































Selengkapnya....

Rabu, 16 Juni 2010

Cerita Semalam itu tentang Cintapuccino


Pernah baca novel Cintapuccino kan? cerita tentang Nimo, Ami dan Raka. Nimo, seorang yang kita inginkan , seorang yang ideal dan serba sempurna di mata kita tapi dia tak bisa kita dapatkan saat itu juga. Semua orang pasti punya Nimo, termasuk aku. Tapi ini bukan tentang Nimo-ku tapi tentang Nimo temanku. Nimo selalu datang dengan tiba-tiba dan menghancurkan apa yang sudah kita rencanakan tanpa dia. Ini kisah temanku yang aku ga ngerti kenapa aku bisa terseret ke dalamnya, aku cuma jadi orang luar yang tiba-tiba tahu semuanya. Aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Aku hanya diam dan melihat di pinggir lapangan tanpa ada keinginan untuk bermain ditengah lapangan. Bukan karena aku pengecut tapi aku hanya menjaga diri bahwa aku hanya orang luar yang harusnya gak ngerti ini-itu. Tapi keadaan yang mengharuskan aku mengerti semuanya. Salahkah sikapku? Mungkin aku hanya-lah Alin, yang jadi tokoh penggembira, yang menjadi nge-link'in tokoh-tokoh utama Cintapuccino. Tapi jadi Alin juga ga gampang. Ketika semua tokoh berharap biar mendapat dukungan dari Alin tapi mereka ga sadar kalau Alin juga punya keterbatasan dalam menyimpan semua rahasia dan ga mudah mendukung sesuatu yang nampak benar di luar tapi salah di dalam.
Aku apatis, tapi masa iya aku segitu-nya??? ga akh, cuma ga mau ambil resiko milih kucing dalam karung. Aku kenal dekat dengan Ami dan ngerti siapa Raka, juga baru tahu Nimo itu siapa. Awalnya ini sikap dari Raka yang otoriter dan Ami merasa ingin berontak. Ami sudah tahu dan yakin dengan sikap Raka, Ami bisa ngerti sikap otoriter itu tapi kenapa tiba-tiba dia berubah haluan? Manakah komitmen awal yang sudah mereka yakini. Masalah makin rumit ketika Nimo datang dengan tawaran cinta dan kebebasan yang menggiurkan. Ami makin bingung dan menanggapi Nimo. ami cerita dan mulai memperkenalkan ke aku, si Alin. Ketika itu, aku udah mulai menasehati-nya tapi dia cuma bilang kalau bingung menentukan sikap. Aku mulai merasakan perubahan sikap Ami yang mulai membuka sosialisasi-nya serta sedikit berontak pada Raka, dan jujur aku menyukai sikap itu. Tapi masalah makin pelik ketika Raka menghubungiku dan menanyakan perubahan sikap Ami. Dia juga bilang kalau hubungan mereka memburuk. Aku yang ngerti inti permasalahan ini, meskipun entah itu benar atau tidak, mulai ikut bingung. Aku harus bagaimana? Ikut dalam permainan mereka karena Ami atau hanya melihat aja? Alin menyimpan rahasia Ami dan Raka dan gak ingin semuanya kecewa terlebih Ami. Tapi ini akan menyakitkan Raka. Hhhh, ini semua gara-gara Nimo sialan tapi apa salahnya dengan kejujuran hati? Ga ada yang salah cy, cuman maslah waktu. Kenapa Nimo mesti datang disaat Raka dan Ami akan meneruskan komitmen mereka? Dengan cara yang tidak fair, pula. Nimo ngerti kalau Raka-Ami akan nikah tapi dia nekat ngomong ke ami tentang perasaannya. Tapi ini juga salah Ami yang membuka hati buat Nimo padahal disitu udah jelas ada Raka. raka juga bisa disalahin gara-gara sikap otoriter berlebih-nya. Dan alin ga mau ikut salah dengan membela siapa.
Saran temen-temenku, biar mereka bertiga aja yang menyelesaikan gimana. Aku cuman bisa jadi mediator tanpa merasa ikut kedalamnya karena mereka bertiga juga punya salah masing-masing. Mungkin ini suatu cobaan Raka-Ami. Atau mungkin suatu jawaban dari-Nya, bahwa Ami ditakdirkan dengan Nimo bukan dengan Raka.

Selengkapnya....

Selasa, 15 Juni 2010

Fanatisme, Berkorelasi-kah dengan Nasionalisme?

Tulisan ini sebenarnya lebih tepat aku buat waktu tanggal 20 Mei kemarin atau pas 17 Agustus nanti atau mungkin waktu hari sumpah pemuda tanggal 28 Oktober karena tulisan ini berkaitan dengan rasa nasionalisme kita. Ide menulis tentang hal ini datang ketika aku terjebak kemacetan (kalau boleh disebut, waktu itu lebih dari macet, my life was suck!!) gara-gara supporter sepakbola yang lagi konvoi atas kemenangan mereka. Ok, aku gak mau membahas tentang kekesalanku karena memang sudah aku tulis di bagian lain (catatan berjudul “Dua Belas Jam Melepas Rasa Kangen Itu”). Aku ingin membahas tentang fanatisme supporter sepakbola yang bisa kukatakan sangat hebat, four thumbs for them. Ketika panas menerpa mereka masih tetap senang mendukung tim kesayangan, pun demikian ketika hujan menghadang suara mereka tetap semangat. Seperti yang aku lihat langsung di lapangan, ketika pihak BIRU konvoi ataupun ketika masih bertanding di kota lain, supporter ini rela melakukan apapun untuk mendukung tim. Seperti contoh ketika tim biru sedang mengadakan away ke Jakarta, masyarakat (baca: supporter) berbondong-bondong dengan rela menjual harta bendanya agar bisa berangkat. Bahkan ketika aku mengajak berbicara dengan salah seorang supporter yang gak keturutan berangkat karena masih sekolah, ada tetangganya yang rela untuk menjual saapi-nya untuk biaya berangkat ke Jakarta. Wuihh, hebat banget orang itu, bela-belain jual sapi biar bisa mendukung tim kesayangan. Entah orang itu masih ada duit lebih untuk kehidupan setelah berangkat atau tidak. Benar-benar hebat fanatisme orang itu.
Berita yang telah lalu juga pernah mengangkat tentang supporter hijau yang berangkat ke Bandung dan rela berdarah-darah demi mendukung tim kesayangan (kalau yang ini, aku juga termasuk supporter hijau tapi ga senekat mereka yang berangkat). Sebelum ada berita itu, ketika aku lagi ada di stasiun, aku melihat secara langsung ada supporter yang sampai kepalanya berlumuran darah. Gila, itu jidat apa kagak bocor ya? (jangan dibahas aku ke sana sama siapa). Sepertinya, anak muda itu –umurnya masih dibawahku— jatuh dari atap kereta api yang sedang masuk ke stasiun. Pihak KA memang tidak bertanggung jawab karena mereka tidak berkarcis. Aku gak habis pikir dengan pemuda-pemuda itu, mereka rela mempertaruhkan nyawa demi mendukung tim mereka. Belum lagi yang berita tentang lemparan batu waktu supporter hijau ke Bandung, yang aku yakin ada oknum perkeruh suasana, saudara-saudaraku (mentang2 satu tim, kusebut mereka saudara)rela mempertaruhkan nyawa. Gila dan gila. Terus juga ada supporter yang sampai koma gara-gara dipukul petugas KA karena dia tidak punya karcis kelas bisnis. Salut sih ama kegigihan mereka tapi kurasa terlalu berlebihan.
Dilihat dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang sangat fanatik dengan sepakbola, agaknya aku berpikir akankah masyarakat Indonesia (terutama supporter) rela berbuat demikian ketika Negara ini diserang pihak asing? Akankah mereka mengorbankan harta benda mereka atau akankah mereka rela berjuang ketika tanah air dihina pihak asing seperti layaknya mendukung tim sepakbola? Kalau jawabannya iya, beruntung benar Negara ini. Tapi, perlu kita perhatikan bahwa Indonesia sebenarnya sudah dijajah, sudah dihina, sudah dalam genggaman pihak asing. Banyak sentra hajat hidup orang banyak dikuasai oleh pemilik modal asing. Lalu kemanakah kenekatan kita yang seperti supporter bola? Pertanyaan ini seharusnya kita tanyakan pada nurani kita sendiri. Sudahkah kita mencintai Negara ini? Ketika dollar sudah menggiurkan daripada rupiah, ketika kata-kata “made in” lebih menarik daripada “produk dari”, ketika buah impor lebih menjadi pilihan daripada buah lokal. Mana kerelaan untuk mengangkat harga diri kita sebagai bangsa Indonesia? Jadi fanatisme terhadap sepakbola bisakah kita korelasikan dengan nasionalisme kita? Kita pribadi yang bisa menjawabnya. Mohon maaf jika ada salah kata.

Selengkapnya....

Batu Sandungan

Pernah dengar kata GAGAL kan? Pastinya pernah mendengar dan mungkin sebagian orang akan mengatakan kalau dirinya pernah gagal. Gagal adalah sesuatu hal yang berkebalikan dengan kesuksesan. Gagal dan sukses bagaikan dua sisi mata uang yang berkebalikan. Kenapa ada gagal? Jawaban gampangnya, karena ada sukses. Seperti ada kaya dan miskin, sehat dan sakit. Tapi apa makna kegagalan dan kenapa kita mesti gagal? Itulah yang harus kita instropeksi diri.
Sebenarnya kegagalan itu bisa dibanggakan tidak? Atau malah suatu kejadian yang bisa dikatakan aib? Mungkin banyak orang yang akan mengatakan kalau gagal itu aib. Ya iya-lah, memangnya ada gagal yang bisa dibanggakan? Ada, kalau kegagalan itu menyangkut tentang kejahatan. Misalnya saja kalau ada seseorang yang berencana membunuh temannya karena suatu hal sepele tapi dia gagal melakukannya karena suatu hal. Ini tentunya kegagalan yang harus dibanggakan karena dia tidak jadi terhasut bujukan setan, malah dia harus bersyukur telah terhindar dari dosa besar.
Kalau kegagalan yang menyangkut kebaikan, bisa dibanggakan tidak? Masih bisa, karena dengan kegagalan itu kita mendapat batu sandungan. Ibaratnya ketika kita berlari tapi tidak mengetahui kalau ada lubang besar yang bisa membuat kita terperosok dan kita malah tersandung oleh kerikil yang akhirnya membuat kita sadar keberadaan lubang besar itu. Memang awalnya kita akan marah, pas enak-enaknya lari kok malah jatuh tersandung tapi mestinya kita mesti bersyukur karena sebenarnya ada bahaya lubang besar yang bisa lebih membahayakan. Sama seperti kegagalan, mungkin awalnya kita akan protes, marah, sedih dan kecewa pada orang sekitar kita atau bahkan dengan Allah, naudzubillah, tapi harusnya kita pahami kenapa kita mesti gagal? Mungkin dengan kegagalan itu kita justru diselamatkan dari bahaya yang lebih besar. Hal yang sangat mungkin adalah bahaya sombong. Sungguh sombong merupakan penyakit yang jarang bisa kita hindarkan. Melihat teman kita yang sedang sukses, mungkin dalam hati kita akan berkata, Cuma sukses seperti itu aja kok bangga. Aku mungkin bisa lebih baik lagi. Pendek memang kalimat itu tapi itu sudah tergolong penyakit iri hati dan sombong. Ketika kita mencoba kesuksesan yang melebihi teman kita itu bisa saja Allah tiba-tiba membuat kita gagal karena tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya.
Kegagalan itu harusnya membuat kita berinstropeksi dan bersyukur karena Allah masih sayang dengan kita karena masih mau mengingatkan kita. Coba kalau kita dibiarkan, tentu kita akan malah terjatuh dalam kesombongan yang ujung-ujungnya membuat kita sengsara nantinya. Merasa sedih tentu lumrah bagi kita karena siapa sih yang mau gagal? Tapi yang harus kita ingat bahwa kegagalan itu jangan disesali terus menerus. Kegagalan itu harusnya bisa membuat kita bangkit dan mencari kesuksesan dengan jalan lain. Ada istilah “Gagal adalah kesuksesan yang tertunda” atau “Kegagalan itu hanya numpang lewat saja dalam hidup kita, karena itu kita harus membuatnya cepat berlalu.”
Kita harus berpikir positif dan berprasangka baik pada Allah. Yakinlah kalau semuanya akan indah pada waktunya dengan cara-Nya karena Allah tidak akan mengecewakan hamba-Nya. Tentunya kita harus menjaga kasih sayang Allah pada kita dengan cara selalu bersyukur dan tawadhu’ pada-Nya. Ada beberapa hikmah dengan mendapat kegagalan, diantaranya yaitu: menyadari bahwa sungguh nikmat berkah yang diberikan Allah dalam bentuk kelancaran atau kesuksesan sebelum kita mengalami kegagalan; membuat kita mengetahui rasanya gagal yang mungkin juga dialami teman-teman kita sehingga membuat kita tidak memandang sebelah mata seseorang yang mengalami kegagalan; dan membuat kita semakin dekat dengan Allah, karena ketika kita sukses biasanya sifat manusia yang lalai dan sombong membuat kita jauh dari Allah. Allahu Akbar, Allah Maha Besar atas segala sesuatunya. Semoga kita dapat memaknai setiap kejadian yang diberikan oleh-Nya dan membuat kita semakin dewasa dalam menyikapinya. Semoga kita tergolong orang yang bertakwa dan mendapat taufik dalam semua cobaan-Nya karena kesuksesan juga merupakan cobaan dari Allah. Seluruh kejadian dalam hidup kita merupakan cobaan, insyaAllah dengan berserah diri kita dapat menikmati hidup ini. Lapangkan ikhlas dan bersikap tawadhu’. Kesempurnaan hanya milik Allah dan kekurangan murni dari diri kita. Mohon maaf jika ada salah. Semoga kita bisa saling mengingatkan. Amin ya Rabb.

Selengkapnya....

Jumat, 04 Juni 2010

Dua Belas Jam Melepas Rasa Kangen Itu

Salah, mungkin, ketika aku memutuskan untuk pulang ke kota kelahiranku pada tanggal 2 Juni 2010. Dosa terus yang meluncur dari mulutku. Isinya omongan kotor mulu’, istilah Suroboyo-nya misuh. Kehadiran warna BIRU-ORANYE-MERAH sungguh menyesakkan jalan dan dadaku. Secara kan aku pendukung HIJAU dan BIRU-satunya, teriakan-teriakan mereka yang mencemooh hijau dan biru-satunya buatku geregetan setengah mati dan akhirnya meluncur kata-kata misuh dengan lancarnya tapi cuma dalam hati. Ya iya-lah mana mungkin aku mau menyia-nyiakan anggota tubuhku untuk di gebuk-in massa macam mereka. Inilah kisahku, selama dua puluh empat jam menempuh perjalanan Malang-Surabaya-Malang diantara lautan musuh (kalau aku boleh bilang mereka itu musuh).
Dua Juni, itu adalah hari mendebarkan dalam hidup kemahasiswa-anku. Aku maju proposal (lagi). Pukul 11am, ujian proposal dimulai, suasana mencekam (bagiku) menghiasi ruangan. Tiba saat evaluasi dari supervisorku, aku makin deg-deg’an. Dengan bahasa tubuh yang terlihat nervous dan suara bergetar plus senyum getir, aku mencoba menjawab pertanyaan dan sanggahan. Beliau-beliau sama-sama berpesan untuk tetep semangat dan fokus. Pukul 12.30pm ujianku selesai, Alhamdulillah itu artinya aku jadi pulang ke Surabaya, kangen banget sama kota itu. Lima minggu sudah aku tidak pulang, kangen rumah, ayah-ibu serta kenangan-kenangan di Surabaya dan juga seseorang yang mungkin gak akan ngerti perasaan ini karena aku sebenarnya juga gak yakin akan perasaan kangen yang ku anggap berlebih. Ok, balik ke topik awal. Pukul 2pm aku menuju Dau buat ngambil oleh-oleh yang udah disiapin ama ibu kos-ku yang di Dau-Batu. Perjalanan yang biasanya bisa ditempuh dengan perjalanan 30 menit jadi molor 30 menit lagi, jadi total waktu dari kosan Kersent ke kosan Dau 60 menit. Tahu gara-gara apa? Gara-gara biru konvoi atas juara mereka. Huaahh, membuka luka lama-ku ketika masih berseragam abu-abu-putih. Ketika itu, aku sebel ama ulah hijau yang memacetkan jalan sehingga aku yang harusnya bisa pulang jam 4pm jadi pulang jam 5pm. Saat itu aku cuma menggerutu gak abis-abis. Kejadian seperti ini membuatku membuat kesimpulan kalau suporter itu sama saja, cuma bisa bikin orang lain susah dan mendongkol. Tapi bagiku masih mending hijau yang konvoi daripada biru yang pasti akan ketambahan oranye dan merah. Soalnya, kalau biru-oranye-merah konvoi pasti mereka misuh’i hijau dan biru satunya. Hahaha, sebenarnya sih sama saja, sama-sama saling misuh’i tapi ya itu tadi karena musuh jadi tambah sebel.
Sesampainya di kosan Dau dan mengambil oleh-oleh, aku balik ke Malang dan menuju terminal Arjosari. DAMN!!!! Jalanan tambah penuh sesak dengan musuh (sebutanku untuk biru-oranye-merah) dan aku melihat mereka menyeret kaos hijau yang diikat dibelakang motor, suatu penghinaan yang berlebihan. 30 menit menunggu angkutan umum dan 90 menit perjalanan Dau-terminal Landungsari. Udah gitu suara klakson dimana-mana ditambah dengan raungan motor yang naudzubillah plus misuh-missuh mereka akan hijau dan biru-satunya bikin kuping panas. Tepat adzan maghrib, aku masih keleleran di terminal Landungsari sengan ditemani calon penumpang lainnya. Dua puluh menit menunggu tanpa ada tanda-tanda kehidupan akhirnya aku putuskan untuk berjalan kaki entah sampai mana nanti. Alhamdulillah juga aku lagi halangan jadi gak bingung dengan melaksanakan kewajiban lima waktu. Dalam perjalanan yang memang benar-benar jalan kaki, aku misuh-misuh dan itu membuat bibir dan mulutku ini besok pas hari akhir akan dimintai pertanggungjawaban. Astaghfirulllah, maafkan hambaMu ya Allah. Telpon berdatangan dari ibu dan ayah, aku cuma menjawab kalau aku lagi jalan kaki dan gak ngerti jadi pulang apa gak. Dalam pikiranku sih, aku bakalan jalan ke kosan Kersent ja dulu, ke terminal Arjosari-nya entah kapan dan itu berarti mungkin aku gak jadi pulang malam itu. Padahal dalam bayanganku tadi bisa sampai rumah maghrib dan bisa ke acara kawinan temenku tapi ya namanya manusia, hanya bisa merencanakan. Setelah berjalan kaki selama 1 kilometer sambil membawa kado kawinan, aku menemukan angkutan yang bisa membawaku ke terminal Arjosari. Pas kutanya sopirnya, eh si sopir bilang kalau dia bakal berhenti di jalan Bandung, dugh yak pa nih? Biar wes, yang penting aku gak jalan kaki ke kosan Kersent.
Sampai di daerah kosan dengan penuh kemacetan, aku memutuskan untuk terus lanjut ke terminal Arjosari dan pulang ke Surabaya. Putus asa, sempet sih waktu ayah menelponku untuk kesekian kali-nya. Jalan Bandung menjelang dan ternyata emang bener kalo penumpang di turunkan di jalan ini. Berjalan kaki lagi mencoba mencari angkutan lain dan Alhamdulillah menemukannya!!! Buru-buru telpon temen yang mau nganterin aku ke terminal Arjosari, bilang kalau aku udah dapet angkutan. Sebenarnya sih aku gak mau ngerepotin dia apalagi suasana jalanan ancur kaya gini. Perjalanan dilanjutkan dengan lagi-lagi bertemu musuh. Eneg plus stress lihat keadaan ini semua tapi ya mau gimana lagi, ini kan kota mereka. Akhirnya pukul 8.30pm aku dapet bis patas idolaku yang berinisial K. Huaahh, nyamannya. Di daerah Singosari-pun musuh masih bikin ulah, rem bolak-balik dari sopir berhasil membuatku terganggu dari lelapku. Tapi yang namanya Ms. Pelor tetep aja bisa tidur bagaimanapun keadaannya. Aku tidur dengan nyamannya dan terbangun di daerah Pandaan lalu melanjutkan tidur lagi. Masuk gerbang tol Porong-pun aku gak ngerti, tersadar dengan kesadaran penuh waktu kondektur meneriakkan, Medaeng. Wuihh, lima belas menit lagi bakal nyampe pintu gerbang Surabaya. Pukul 10.15pm aku bertemu dengan ayah di terminal Purabaya dan lima menit kemudian sampai juga di pintu gerbang Surabaya. Seneeeenngg banget lihat banyak plat L dan pernak-pernik hijau, luv Surabaya deh. Mungkin ini hikmah dari aku belajar di kota lain, aku bisa memaknai arti penting kota kelahiranku dan membuatku pengen balik ke kota ini kalau sudah berumah-tangga ntar, syukur-syukur kalo dapet ama orang yang dikangenin secara berlebihan yang aku sendiri-pun gak ngerti kenapa.
Mampir ke warung jual sate, ditempat ini aku bercerita ke ayah tentang ujianku dan kekesalanku ama musuh. Disempet-sempetin ngobrol karena besok aku harus balik ke Malang pagi biar dapet sore nyampe. Sepanjang perjalanan Ahmad Yani-rumah, banyak banget ngelihat perubahan. Ini sebulan gak pulang, kalau 3 bulan gimana ya? Sampai di rumah, jam ruang tengah berbunyi, menandakan pukul 11pm, menghitung waktu perjalanan, GILA!!! Tujuh jam terjebak macet di Malang dan perjalanan ke rumah dua jam jadi total sembilan jam aku ber-bag packer-ria. Wew, edan bener hari ini. Makan malam yang terlalu larut dengan diselingi obrolan dengan ayah-ibu dan masku. Pukul 12am, aku memutuskan tidur meskipun banyak hal yang harus aku omongin ama ayah.
Bangun tidur jam 5.30am tanpa gangguan karena emang lagi “libur”. Memutuskan untuk ke rumah temen yang baru nikah kemarin, jam 6am biar bisa naek motor, hehehehe. Pangling aku ama temenku ini, dia-nya juga agak pangling ama aku. Tambah item kali ya aku-nya. Pukul 6.30am pamitan, gila cuma ngobrol lima belas menit tapi mau gimana lagi, lha wong motor mau dipake ayah ke kantor jam 7am. Macet menghadang, parno ama kejadian kemarin. Lima belas menit perjalanan ke rumah lalu dilanjutkan sarapan bersama dan diselingi curhatan atau lebih tepatnya pengaduan, istilahnya wadul, dari ayah-ibu serta wejangan dari ayah biar aku jangan sampe tua di kampus. Amin,,,insyaAllah tetep fokus. Setelah ayah berangkat, aku bersiap pula untuk balik ke Malang pukul 10am. Berat banget rasanya harus meninggalkan rumah, kangenku belum terpenuhi sepenuhnya. Apalagi kangenku ama seseorang itu, dia sendiri aja gak aku beri tahu kalau aku lagi Surabaya hari itu, hhhh aku bener-bener kangen dia. Ditinggal ibu yang lagi bantu-bantu di acara kawinan tetangga dan mas-ku yang ngelayap entah kemana, aku ndengerin HRFM dan temanya waktu itu it’s all bout eM-eL. Gaya guyonan yang segar dari penyiar buatku tambah berat ninggalin kota ini. Pukul 9.30am aku telpon ibu biar bisa pamitan dan tepat pukul 9.45am aku keluar rumah dengan perasaan yang sangaaatt aneh. Ibu mencium pipi-ku, buatku tiba-tiba mbrambang. See yaa rumahku, entah kapan aku bisa ke sini lagi, mungkin dalam hitungan bulan, aku gak bisa lagi sesering dulu untuk pulang. Semoga semua ini bisa indah pada waktu-nya. Tepat pukul 11.30am, aku beranjak dari terminal Purabaya menuju terminal Arjosari. insyaAllah siap menghadapi kenyataan. Dua belas jam di rumah buatku merasakan kesesakan di dalam dada. Perjalanan tersingkat selama mengunjungi rumah. Tetep kangen Surabaya, suatu saat aku pasti akan kembali ke kota itu dan merasakan sensasi yang dulu mungkin tidak kurasakan. Yang pasti aku lagi kangen seseorang yang di Surabaya dan aku gak ngerti kenapa perasaan ini berlebih karena aku (mungkin) emang lagi jatuh cinta ama seseorang itu.

Selengkapnya....