Selasa, 15 Juni 2010

Fanatisme, Berkorelasi-kah dengan Nasionalisme?

Tulisan ini sebenarnya lebih tepat aku buat waktu tanggal 20 Mei kemarin atau pas 17 Agustus nanti atau mungkin waktu hari sumpah pemuda tanggal 28 Oktober karena tulisan ini berkaitan dengan rasa nasionalisme kita. Ide menulis tentang hal ini datang ketika aku terjebak kemacetan (kalau boleh disebut, waktu itu lebih dari macet, my life was suck!!) gara-gara supporter sepakbola yang lagi konvoi atas kemenangan mereka. Ok, aku gak mau membahas tentang kekesalanku karena memang sudah aku tulis di bagian lain (catatan berjudul “Dua Belas Jam Melepas Rasa Kangen Itu”). Aku ingin membahas tentang fanatisme supporter sepakbola yang bisa kukatakan sangat hebat, four thumbs for them. Ketika panas menerpa mereka masih tetap senang mendukung tim kesayangan, pun demikian ketika hujan menghadang suara mereka tetap semangat. Seperti yang aku lihat langsung di lapangan, ketika pihak BIRU konvoi ataupun ketika masih bertanding di kota lain, supporter ini rela melakukan apapun untuk mendukung tim. Seperti contoh ketika tim biru sedang mengadakan away ke Jakarta, masyarakat (baca: supporter) berbondong-bondong dengan rela menjual harta bendanya agar bisa berangkat. Bahkan ketika aku mengajak berbicara dengan salah seorang supporter yang gak keturutan berangkat karena masih sekolah, ada tetangganya yang rela untuk menjual saapi-nya untuk biaya berangkat ke Jakarta. Wuihh, hebat banget orang itu, bela-belain jual sapi biar bisa mendukung tim kesayangan. Entah orang itu masih ada duit lebih untuk kehidupan setelah berangkat atau tidak. Benar-benar hebat fanatisme orang itu.
Berita yang telah lalu juga pernah mengangkat tentang supporter hijau yang berangkat ke Bandung dan rela berdarah-darah demi mendukung tim kesayangan (kalau yang ini, aku juga termasuk supporter hijau tapi ga senekat mereka yang berangkat). Sebelum ada berita itu, ketika aku lagi ada di stasiun, aku melihat secara langsung ada supporter yang sampai kepalanya berlumuran darah. Gila, itu jidat apa kagak bocor ya? (jangan dibahas aku ke sana sama siapa). Sepertinya, anak muda itu –umurnya masih dibawahku— jatuh dari atap kereta api yang sedang masuk ke stasiun. Pihak KA memang tidak bertanggung jawab karena mereka tidak berkarcis. Aku gak habis pikir dengan pemuda-pemuda itu, mereka rela mempertaruhkan nyawa demi mendukung tim mereka. Belum lagi yang berita tentang lemparan batu waktu supporter hijau ke Bandung, yang aku yakin ada oknum perkeruh suasana, saudara-saudaraku (mentang2 satu tim, kusebut mereka saudara)rela mempertaruhkan nyawa. Gila dan gila. Terus juga ada supporter yang sampai koma gara-gara dipukul petugas KA karena dia tidak punya karcis kelas bisnis. Salut sih ama kegigihan mereka tapi kurasa terlalu berlebihan.
Dilihat dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang sangat fanatik dengan sepakbola, agaknya aku berpikir akankah masyarakat Indonesia (terutama supporter) rela berbuat demikian ketika Negara ini diserang pihak asing? Akankah mereka mengorbankan harta benda mereka atau akankah mereka rela berjuang ketika tanah air dihina pihak asing seperti layaknya mendukung tim sepakbola? Kalau jawabannya iya, beruntung benar Negara ini. Tapi, perlu kita perhatikan bahwa Indonesia sebenarnya sudah dijajah, sudah dihina, sudah dalam genggaman pihak asing. Banyak sentra hajat hidup orang banyak dikuasai oleh pemilik modal asing. Lalu kemanakah kenekatan kita yang seperti supporter bola? Pertanyaan ini seharusnya kita tanyakan pada nurani kita sendiri. Sudahkah kita mencintai Negara ini? Ketika dollar sudah menggiurkan daripada rupiah, ketika kata-kata “made in” lebih menarik daripada “produk dari”, ketika buah impor lebih menjadi pilihan daripada buah lokal. Mana kerelaan untuk mengangkat harga diri kita sebagai bangsa Indonesia? Jadi fanatisme terhadap sepakbola bisakah kita korelasikan dengan nasionalisme kita? Kita pribadi yang bisa menjawabnya. Mohon maaf jika ada salah kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar